Seperti cerita cinta yang sudah-sudah. Awalnya aku tak kenal dengan yang namanya FLP. Lalu di suatu sore aku mendapatkan selebaran kertas untuk formulir pendaftaran anggota baru FLP Sumut. Itupun aku harus bertanya terlebih dahulu, apa itu FLP. Setelah aku tahu bahwa FLP merupakan organisasi kepenulisan, aku putuskan untuk mendaftar.
Hari yang menegangkan. Ini adalah hari ujian untuk menentukan kelulusan bergabung dengan keluarga FLP. Hm, (macam betul aja pun ujiannya. Pake ujian tertulis dan wawancara lagi. Udah kayak seleksi IMB atau Indonesian Idol aja). Hari itu aku benar-benar pasrah akan ketentuan pilihan panitia. Karena aku benar-benar menyadari ketidak-tahuanku terhadap FLP. Mana di tempat yang lain beberapa orang yang sepertinya sudah sangat mengenal FLP berkumpul, bercerita mengenai kepenulisan. (Wah, aku gak berani mendekat, takut mati di tempat pula). Tapi, setelah mendapatkan hasil keputusan panitia ternyata aku terpilih untuk diterima (uji coba) anggota baru. Rasanya seperti jatuh dari lantai lima dan nyangkut di besi lantai dua (tanggung, gak sampe lantai satu).
Ternyata setelah beberapa bulan bergabung, benih-benih cinta itu mulai tumbuh. Aku tak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini sebelumnya. Satu hari tak berjumpa, rindunya seperti kejepit pintu (memar). Dan di sini pula aku menemukan orang-orang yang berbeda. Mereka sudah menjadi bagian dari diriku, sebab jika tergores sajapun, secara refleks aku juga merasakannya (Lebay... *jeritan pembaca). Tenang-tenang. Back to topic.
Rasa inilah yang kusebut cinta. Rasa yang sebelumnya tak pernah melekat dimanapun, rasa yang sebelumnya masih malu-malu untuk keluar. FLP cinta pertamaku. Artinya aku dituntut untuk menjadi seorang penulis. Aku selalu meng-amin-i tuntutan itu. Tapi coba simak sebentar kawan, cuplikan kejadian berikut;
Seorang teman pernah bertanya padaku. Setelah beberapa kali ia membaca sebuah tulisan tentang rangkaian cita-cita dan impianku, yang tertempel di dinding kamar. Ia heran. Kenapa dari sekian banyak cita-cita dan impianku, tak ada tecantumkan untuk menjadi penulis. Aku hanya tersenyum. Sebab bagiku, penulis bukanlah cita-cita. Aku tak ingin berhenti bercita-cita hanya sampai pada "penulis" saja.Tapi aku ingin menuliskan semua impian dan cita-citaku melalui sebuah rangkaian kalimat sederhana untuk dapat merubah hidupku dan dunia. Sekalipun aku tak pernah mendapat pengakuan untuk menjadi seorang penulis. Karena menulis adalah kebutuhan, bukan profesi.
0 komentar:
Posting Komentar