Di matamu langit semakin jingga
Semakin merah
Semakin pucat,
Melengkung ke arah siksa
menjadi puluhan, ratusan, ribuan, jutaan
bahkan milyaran angka
di kepalamu dedaunan gugur
menangis karena dipaksa meninggalkan
tangkainya
kayu-kayu berkepalan
menumpuk menjadi lapau, rumah, dan
gedung
di hatimu ada sekumpulan katak yang
melompat
berirama memanggil tuannya
ingin meminta seekor capung dari hutan
yang telah gundul
di tanganmu nyala api-api biru
membakar tubuh seekor ular
di tengah rawa, di tengah hutan
untuk bertahan hidup menyambung nyawa,
katamu.
Berdegublah jantung langit
Dag dag dug dug...
menjadi sebuah pertanda masih ada
kehidupan di atas sana
menjadi isyarat amarah yang tak dapat
terelakkan
maka menjeritlah hutan-hutan
dengan hujan, dengan mata air yang tak
henti mengalir
dengan tanah yang tak ingin menyerap
dengan hati manusia
satu persatu dicabik-cabik menjadi
puluhan, ratusan, ribuan, jutaan bahkan milyaran bangkai yang terseret oleh
keserakahan
oh.... bumi
pantaskah kami menjadi tuan di atas
laramu
pantaskah kami menyentuhmu dengan bahasa
lembut dan nada yang cerca
hingga kau tak tahu mana kebaikan dan
kebiadaban
oh... langit
masihkah kau turunkan hujan
sedang tanah terus berduka dinodai oleh
keserakahan
oleh airmata para pendosa
subhanallah, walhamdulillah,
walailahaillallah, allahuakbar
tuk.... tuk... tuk.... tuk....
telah mati seribu manusia di telan durja
telah lahir seribu hati yang tertanam di
tanah dunia
telah sirna seribu langkah menuju dosa
telah hadir seribu jiwa mendamba air,
api, udara dan manusia
lahirlah anak-anak bumiku
menangislah menyambut hidup
agar kelak matimu ditangisi dengan doa
dan dzikir
dari mulut-mulut mungil manusiamu
Jaka
Satria
0 komentar:
Posting Komentar