Selasa, 27 Desember 2011

DI BALIK LAYAR NONTON HAFALAN SHOLAT DELISA


Oleh: Jaka Satria

Pagi itu sebuah sms masuk,"oh dari bg abdi (dah biasa, paling kata-kata bermakna gitu)" batinku.
"Nanti sore ikut nonton hafalan sholat delisa?" waw... sapa yang gak mau, kan dah lama pengen nonton film itu, secara begitu membaca novelnya jadi pengen tau sosok tokoh pemeran-pemerannya. (walaupun akhirnya gak sama persis dengan novelnya sih...) tapi aku tetap diam, gak balas sms itu. sampai berulang kali bang abdi mengirimkan sms lagi, dan akhirnya dia mengatakan
"pake duit abang dulu" *begitu baca sms yang terakhir, senangnya... spontan aku langsung balas
"Yups, ok bang." (memang bang abdi kalau masalah begini ngerti kali).
"Jam setengah enam harus dah kumpul di medan plaza" ouh, gak masalah. Aku cuma menyiapkan ongkos *angkoters n penampilan sederhana (tapi elegan).

Aku berencana berangkat jam lima dari rumah, hitung-hitung perjalanan dari rumah ke menplas sekitar setengah jam.Tapi waktu masih terlalu lama merangkak ke angka lima, jadi untuk membunuh kejenuhan aku main game dulu aja. Nih dia, kebiasaan buruk, kalo udah main game, waktu sholat pun keteter. *Kayaknya yang ni gak penting untuk diceritakan deh, ntar gak nyambung ma judul (hehehehe).

Kembali ke topik. Karena waktu dah menjerit-jerit di angka setengah lima, aku pun berangkat. Bermodalkan ongkos dan penampilan elegan (narsis). Hampir satu jam nungguin angkot jurusan menplas, tapi gak da yang nongol satupun. Lama-lama jadi geram juga. Maklum aja, pemukiman tempat aku tinggal kalau dah sore begini, angkot sulit kali. Biasalah perkampungan orang elit, hampir semua rumah punya mobil (minimal satu) *tapi gak kebagian ke aku, tetep aja jadi angkoters sejati. hikshiks :( atas saran bang abdi, akhirnya aku terpaksa naik angkot yang beda jurusan dan nyambung lagi (padahal tadinya mau menghemat seminimal mungkin).

Ok, sekarang sudah sampai di menplas. Langsung menuju lantai tiga gedung bioskop. Si kawan ternyata masih sendiri berdiri di salah satu tiang penyanggah gedung.
"Sok Cool kali gayamu" terang saja dia langsung menerorku dengan (sebenarnya) pujian terselubung, HKHKKHk. Biasalah, aku memang begini,kalau memulai aktifitas di luar rumah lewat dari waktu siang, bawaannya gak mau banyak tingkah. Jarum jam menunjukkan angka enam kurang lima belas (kurang lebih segitulah, gak bisa ditawar lagi). Bang abdi mulai galau.
"Cipta lama kali datangnya" raut wajahnya mulai menua.
"Kita belum pesan tiket lagi. Uangku gak cukup. Telpon suci. Kita pinjam uang dia dulu untuk beli delapan tiket". tanpa tudung aling-aling, langsung kutelpon suci, sesuai perintah, suruh menemui bang abdi. (Aku tak tahu menau, ntah suci masih di jalan, masih di rumahnya, di angkot, nyuci piring, menggosok pakaian seabrek-abrek) karena melihat muka bang abdi, aku gak mikir orang lain lagi.

Baik, sekarang delapan tiket sudah dibeli.
"Tapi abang bilang tiket dah dipesan" suci mencari tau suatu kebenaran yang tersembunyi. Aku mikirnya, mau tiket dah dipesan atau belum. Yang penting jadi nonton (wong gratisan kok).  (Mungkin) bang abdi langsung nanya a' Cipta, dan ternyata, eh ternyata.(a' Cipta Answer... eng ing eng... dugdugdug... *suara jantung) Tiket sudah di beli.
"HAH!!" Apaa??? *sesi ala lebay. Langsung deh, aku nelpon cipta. gak mikir biaya telpon yang mahal karena beda operator. Sangat tepat. Sebuah kepastian sudah ditemukan. Cerdas.

Sekarang delapan tiket ada di tangan. Delapan tiket yang pemiliknya tidak jelas. Lantas mau dibawa kemana hubungan kita, eh tiket ini maksudnya. Waktu menunjukkan menit ke dua puluh tiga (kering lebih, gak da tawar menawar), sedangkan film mulai di menit ke tiga puluh. Dan sebagian penonton yang sudah dapat tiket bergegas masuk. Lalu kami? bang abdi sangat pasrah jika harus mengganti uang tiket yang delapan ini (120 ribu) lumayan juga tuh. Entah darimana aku dan suci langsung mengutip ide gokil.
"Dijual aja lagi tiketnya ke orang-orang". Tanpa jawaban, langsung bang abdi beraksi dan memasang wajah kasihan secara spontan (dah bawaan kali ya?). Aku dan suci juga ikut turut beraksi. Suci dengan tampilan "akhwat yang baru lahir" meyakinkan orang-orang bahwa pemuda melas ini (bang abdi) tidak berbohong perihal tiket yang miscomunication ini. Dan aku , masih tetap bertahan dengan tampilan elegan (meski tetap jualan juga sih). Dalam waktu kurang lebih lima menit, kami harus menjadi calo dadakan.Berbagai ekspresi orang-orang yang dihadapi, mulai dari orang yang memang kasihan sama bang abdi, sampai orang yang ketakutan (berlagak gak mau beli tiket tapi ternyata beli tiket langsung ke operatornya). Sampai akhirnya delapan tiket berhasil terjual dengan harga sebenarnya. (Sebenarnya cerita ini masih sangat panjang, jika dijelaskan satu persatu). Alhamdulillah, akhirnya tiket terjual dalam waktu yang telah ditentukan. Bang abdi gak jadi nombok. Sambil menunggu anggota yang lain belum hadir sampai film dah mulai, kami sholat maghrib dulu (sekalian bersyukur). 

Ini benar-benar pengalaman "gila". Maksud hati mau gratisan, eh malah terpaksa jadi calo. Tapi tetap jadi nonton kok.

Ini ceritaku, apa ceritamu?

0 komentar:

Posting Komentar