Mungkin bagi sebagian orang mengajar itu adalah pekerjaan
yang paling sulit. Apalagi kalau katanya mengajar anak SD, paling susah lah,
ribet lah, pokoknya ada aja alasan untuk kesulitan mengajar SD. Hm,, tapi
kurasa mengajar itu pekerjaan yang menyenangkan.
Ok deh, sedikit kita lirik ke belakang mengenai pilihan
mengajar. Kalau diteliti lebih mendasar, aku lebih memilih melakoni dunia seni
daripada dunia nyata (eh, maksudnya dunia kerja lainnya). Karena sejak kecil
aku sudah menggeluti dunia itu, mulai dari pernah menjadi salah satu anggota
tari tradisional pesisir (Sikambang) di kotaku, mengikuti kegiatan ekskul
nasyid, belajar vokal dengan adik ayah yang memang suaranya sudah dikenal
seantero kota, sangat menyukai dunia kepenyairan (mengikuti lomba cipta puisi,
walau gak pernah menang. Mengikuti lomba baca puisi, walau gak pernah juara
satu), ikut belajar tilawah Al-Qur’an (alhamdulillah pernah mendapat juara dua
tingkat sekolah, kemudian mengikuti MTQ tingkat kota dan mendapat juara satu).
Sampai akhirnya ketika kelas dua Aliyah, seorang guru geografi yang kebetulan
juga sebagai wali kelas adikku di salah satu SMP Negeri di kotaku memberikan
saran agar kelak aku menjadi guru. APA??? (otakku keplinter kawat, wajahku
kebalik 180 derajat).
Benar-benar perubahan yang memutar-balikkan cara berpikirku.
Kurasa menjadi guru itu bukan sesuatu yang mudah, saat itu aku berpikir untuk
menjadi guru bukanlah pekerjaan yang menjanjikan kemapanan, juga bukan profesi
yang menjanjikan masa depan cemerlang, apa lagi ketenaran. Huffft......
benar-benar menyiksa batinku. Guru itu pekerjaan yang tidak seimbang, antara
modal dengan keuntungan. Sebab untuk menjadi guru terlalu banyak tuntutan yang
harus dipenuhi, mulai dari kemauan pemimpin di sekolah, kemauan anak murid yang
berbeda-beda karakter, tambah lagi kemauan orang tua/wali murid yang maunya
lebih parah dari kemauan pemimpin dan murid, bahkan melebihi kemauan kita
sebagai seorang guru yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kebutuhan
mengajar. Pertimbangan seperti ini yang akhirnya membuatku sedikit depresi dan
rasanya ingin berontak. Tapi, ini adalah skenario yang telah ditentukan oleh
Sang Pembuat skenario sesungguhnya. Sebelum menamatkan studi di Aliyah, kedua
orang tuaku justru sudah dipanggil-Nya. Kurasa ini adalah cara terbaik agar aku
memilih jalan yang sudah ditentukan, tanpa harus membantah dan harus mengikuti
alurnya.
***
Maka aku putuskan untuk memilih kuliah di bidang keguruan,
untuk memilih ini pun aku sedikit memaksa untuk kuliah ke Medan. Walau dengan
biaya seadanya dan uang pas-pasan, tapi aku selalu tanamkan apa yang pernah
disampaikan kepala sekolah ketika apel pagi bahwa, “Allah telah menentukan rezeki setiap manusia seperti keran air. Semakin
besar kebutuhan kita maka kerannya semakin dibesarkan sesuai dengan kebutuhan,
jadi jangan pernah takut untuk berkebutuhan yang besar karena Allah pasti akan
semakin memutar keran milik kita.”
Memilih jurusan yang terbaik di bidang ini pun selalu
kurembukkan dengan keluarga, bertanya pada orang-orang yang sudah
berpengalaman, sampai akhirnya aku memilih jurusan pendidikan matematika.
***
Sekarang setelah semua kujalani, semenjak kuliah sudah
mencoba mengajar di SD untuk perbekalan selanjutnya. Alhamdulillah, setelah
selesai kuliah langsung mengajar di sebuah sekolah yang memang bisa menutupi
segala kebutuhanku. Baik materi maupun secara rohani.
Ternyata mengajar itu, terutama di SD tidak seburuk yang
kupikirkan selama ini. Aku punya prinsip bahwa “setiap kebaikan yang kita lakukan pasti akan mendapat kebaikan pula,
tapi tidak mengharapkan kebaikan itu selalu datang semau kita.”