SATRIA JAKA P
FLP SUMUT
Hati siapa yang tidak miris ketika menyaksikan maut menjemput di depan mata, apalagi mereka adalah teman bahkan kerabat yang baru saja bersama-sama menikmati liburan. Airmata mana yang tak akan jatuh ketika menahan pilu yang mendalam, menyaksikan luka dan nyawa telah hilang dalam sekejap di depan mata. Minggu, 22 Januari 2012 berlokasi di Jakarta Pusat, sembilan nyawa hilang begitu saja setelah aksi ngebut yang tak bisa dikendalikan oleh seorang perempuan yang baru saja menikmati pesta miras dan narkoba. Kecelakaan tersebut merenggut nyawa mereka yang tak bersalah sebagai pejalan kaki, hanya saja mobil yang melaju kencang tak terkendalikan ketika supir menahan kantuk setelah berpesta di malam sebelum kejadian, yang mengakibatkan mobil terbalik dan menghantam para korban.
Bagaimana kesedihan yang tertancap di hati keluarga korban, setelah mengetahui bahwa salah seorang atau bahkan satu keluarga telah meninggal dunia dalam kejadian yang sama. Airmata itu sangat hangat mendidih oleh api miris. Bukan pertanggung jawaban lagi yang terpikirkan, tetapi kepulangan jenazahlah yang dinantikan. Berkumpul, berdoa dan ingin menyegerakan fardhu kifayah. Akan tetapi, bukan kepulangan jenazah yang diterima, melainkan surat tebusan rumah sakit untuk pengurusan jenazah. Bagaimana mungkin, seorang kepala keluarga perantauan ke kota metropolitan tersebut dapat menebus uang sebesar kurang lebih tujuh juta lima ratus ribu rupiah dalam waktu sehari? Sedangkan ia hanya bekerja sebagai supir bajai, bukan keringanan beban yang ia terima dari instansi negeri ini, melainkan api yang menambah panasnya kemirisan yang ia rasakan.
Akankah negeri ini bisa dikelola oleh penerus yang kerjanya hanya berpangku pada harta orang tua? Apakah negeri ini akan sehat jika generasinya masih saja berpesta miras dan obat-obatan terlarang? Inilah buktinya, mereka hanya bisa menindas dan membunuh rakyat kecil.
Airmata orang kecil, adakah harganya?
Tangisan anak yatim, dimanakah tempat pangkuannya?
Jeritan fakir miskin, terdengarkah oleh kita?
Inilah kenyataannya, bahwa negeri ini sangat indah luarnya, tapi rapuh isinya. Siapa yang bersalah? Bukan ini pertanyaan yang tepat. Tapi kembalilah bertanya pada hati kita, tentang harga airmata yang pernah jatuh dan pergi dari kehidupan kita. Sebab airmata yang telah mengering di sapu tangan tak akan pernah kembali untuk menemani setiap kebahagiaan ataupun kesedihan berikutnya.